Kisah Cinta Fahri di Dalam Ayat-Ayat Cinta

Novel Ayat-Ayat Cinta Dalam Bahasa Malaysia

Novel Ayat-Ayat Cinta Dalam Bahasa Malaysia

Novel ini banyak menggambarkan bagaimana hubungan lelaki dan perempuan menurut Islam. Misalnya saja adegan ketika Fahri menolak berjabat tangan dengan Alicia:

Perempuan bule (perempuan barat) tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap perempuan bercadar. Ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata, “Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.” “Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya. “Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah faham.

Fahri dengan penuh hikmah menyatakan alasannya kenapa menolak bersalaman dengan perempuan.

Atau contoh lainnya ketika Fahri dan Aisha turun dari kereta api. Walaupun mereka berjalan di keramaian, Aisha berjalan dua meter dibelakang Fahri supaya tidak menimbulkan fitnah. Adegannya lainnya adalah ketika Fahri menolak tawaran Madame Nahed agar duduk di belakang kereta bersama Maria, anak perempuan keluarga Tuan Boutros yang memakai parfum terlalu keras. Dengan sopan Fahri minta untuk duduk di depan kereta, di samping Tuan Boutros. Fahri merasa kalau duduk dengan Maria di belakang, akan menyebabkan godaan yang sangat besar baginya. Fahri juga menolak berdansa dengan Maria ketika berada di restoran. Tentu saja Fahri tidak pergi berdua dengan Maria. Fahri pergi bersama kawan-kawannya dan juga keluarga Tuan Boutros. Dan banyak contoh-contoh lain dalam novel ini yang menggambarkan bagaimana sebenarnya seorang lelaki itu berhubungan dengan perempuan menurut Islam.

Fahri memiliki target untuk menikah pada umur 26 atau 27 tahun. Tapi Fahri merasa ragu-ragu karena pendapatan dari menterjemah buku selama hidup di Mesir tidak terlalu besar. Akhirnya Fahri membuat keputusan, jika telah menemukan perempuan shalihah dan menerimanya baik suka maupun duka, maka Fahri tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, walaupun umurnya belum mencapai 26 tahun.

Fahri tidak perlu menunggu waktu yang terlalu lama untuk mendapatkan tawaran menikah. Syaikh Utsman yang merupakan guru tempat Fahri ber-talaqi menawarkan seorang gadis shalihah yang merupakan keponakan dari salah seorang rakan Syaikh Utsman. Hati Fahri masih terasa bergetar karena tawaran yang tidak disangka-sangkanya itu. Fahri sholat istikharah selama tiga hari berturut-turut agar dapat membuat keputusan yang tepat. Fahri juga tidak lupa meminta restu ibunya. Jika ibunya setuju maka Fahri akan menerima tawaran itu.

Kalau ditanyakan kepada saya, apa bagian dari buku ini yang meninggalkan kesan yang mendalam? Maka jawabannya adalah proses ta’aruf Fahri yang diatur oleh Syaikh Utsman. Proses ta’aruf ini begitu Islami dan sudah sewajarnya dicontoh oleh pemuda-pemudi Islam yang berniat melangsungkan pernikahan.

Sebelum proses ta’aruf berlangsung, Syaikh Utsman memberikan dua album photo (gambar) yang berisikan gambar-gambar si gadis tersebut. Namun Fahri tidak berani membuka album gambar tersebut. Fahri memutuskan untuk melihat calonnya langsung selama proses ta’aruf. Ketika menunggu kedatangan perempuan tersebut dan keluarganya di rumah Syaikh Utsman, Syaikh Utsman berkata:

Kulihat mukamu pias, kau pasti sedang panas dingin. Anakku, tunggulah nanti sebentar lagi ketika kau sudah duduk di ruang tamu dan gadis itu masuk bersama walinya kau akan merasakan panas dingin yang luar biasa. Panas dingin yang belum pernah kau rasakan. Apalagi kala kau dan dia nanti sesekali mencuri pandang. Suasana hatimu tidak akan bisa kau lupakan seumur hidupmu. Inilah keindahan Islam. Dalam Islam hubungan lelaki perempuan disucikan sesuci-sucinya namun tanpa mengurangi keindahan romantisnya.”

Akhirnya setelah betemu dengan perempuan tersebut, Fahri baru mengetahui perempuan itu adalah Aisha yang merupakan kenalannya. Namun Fahri tidak pernah mengetahui wajah Aisha karena selalu tertup cadar. Istri Syaikh Utsman kemudian berkata:

“Ini adalah majelis ta’aruf untuk dua orang yang sedang berniat untuk melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh melihat wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik dan untuk menyejukkan hati. Maka lebih baiknya Anakku Aisha membuka cadarnya. Meskipun Fahri sudah melihat wajahmu lewat album foto. Tetapi dia harus melihat yang asli sebelum melangsungkan akad nikah. Bukankah begitu Ummu Amena?” Kata-kata Ummu Fathi ini membuat jantungku berdesir.

Walaupun Fahri tidak pernah menceritakan hal-hal pribadi kepada Aisha sebelumnya, Aisha banyak tahu mengenai Fahri. Aisha banyak bertanya perihal Fahri melalui pamannya (pakcik) yang merupakan sahabat Fahri dulunya. Pakcik Aisha sangat mengenal Fahri, sehingga beliau setuju dengan ta’aruf ini. Ada dua pelajaran yang boleh diambil dari proses ta’aruf Fahri dengan Aisha ini yaitu:

1. Bukan merupakan suatu kesalahan apabila perempuan maju terlebih dahulu apabila menyukai seorang lelaki. Namun gunakanlah orang ketiga, contohnya seperti pakcik Aisha dan Syaikh Utsman, untuk memulai proses ta’aruf guna menghindari fitnah.

2. Proses pernikahan Islami bukan berarti seperti membeli kucing di dalam karung. Sudah sepatutnya pihak lelaki dan perempuan mencari tahu (merisik) calonnya tersebut. Proses perisikan ini boleh melibatkan orang ketiga, dalam hal ini Aisha merisik melalui pakciknya yang telah mengenal Fahri dengan baik. Tentu saja proses perisikan melalui pihak ketiga ini tidak menjamin Aisha mengetahui Fahri secara mendalam. Tapi jauh lebih baik daripada percintaan sebelum menikah. Proses kemudahan perisikan inilah yang sebenarnya membuat orang-tua lebih suka kalau anaknya memilih calon dari keluarga yang dikenali oleh mereka.

3. Diizinkan untuk melihat muka perempuan ketika ber ta’aruf supaya meninggalkan ghairah bagi pihak lelaki untuk menikahi perempuan tersebut. Saya pernah mendengar sebuah nasyid Malaysia yang menceritakan proses pernikahan seorang lelaki tanpa melihat wajah istrinya hingga selesainya ijab-qabul. Saya merasa ini tidak mengikuti sunnah.

Sebenarnya Fahri menyukai seorang gadis yang bernama Nurul. Namun Fahri tidak berani menyatakannya kesukaannya secara langsung kepada Nurul karena menganggap Nurul adalah anak seoarang kiai pemimpin sebuah pondok pesantren di Jawa. Sudah menjadi kebiasaan disana, bahwa anak seorang kiai memiliki derajat yang tinggi (golongan ningrat menurut orang Jawa). Biasanya orang-tuanya sudah memiliki calon bagi anak perempuannya. Itulah alasan Fahri sehingga dia tidak berani maju terlebih dahulu.

Inilah salah satu kesilapan Fahri. Seharusnya kalau sudah suka, maka nyatakanlah dan ajaklah untuk menikah. Tapi itu tidak dilakukan oleh Fahri. Tanpa disadari oleh Fahri, sebenarnya Nurul juga menyukai Fahri. Cuma Nurul terlalu malu untuk menyatakan perasaan hatinya secara langsung kepada Fahri. Nurul meminta bantuan pamannya (pakcik), Ustadz Jalal, untuk menyampaikan perasaan sukanya kepada Fahri.

Fahri merasa terpukul dengan pemberitahuan Ustadz Jalal yang sangat terlambat tersebut. Fahri sudah terlanjur menerima lamaran Aisha. Walaupun Fahri mencintai Aisha sejak bertemu muka dengan Aisha, hanya nama Nurul sajalah yang mampu menggetarkan hatinya. Fahri merasakan cobaan yang sangat besar. Kalau diikutkan kata hatinya, mau saja Fahri membatalkan kesepakatan dengan Aisha dengan alasan nikah dan mahar yang belum terjadi. Namun Fahri tidak mau menyakiti hati Syaikh Utsman, istrinya dan keluarga dekat Aisha. Akhirnya Fahri memutuskan mengikuti akal sehatnya dibandingkan perasaannya.

Fahri tidak pernah bercinta dengan Aisha sebelum menikah. Fahri hanya beberapa kali bertemu Aisha untuk mendiskusikan masalah-masalah agama. Tentu saja ada pihak lain yang menemani Aisha berjumpa Fahri. Maka setelah menikah, mereka bercinta dengan sepuas-puasnya. Karena cinta setelah menikahlah yang diakui oleh Islam.

Walaupun sudah melaksanakan pernikahan dengan Aisha, Fahri mengalami cobaan lain. Fahri menerima sebuah surat dari Nurul yang mengatakan sanggup bermadu dengan Aisha. Akan tetapi Fahri menolaknya dengan alasan telah menerima syarat untuk tidak berpoligami ketika ijab qabul dengan Aisha dulunya. Mungkin ada yang tidak setuju dengan alasan Fahri, karena ada juga ulama yang menganggap itu bukan syarat nikah. Sebenarnya permintaan Nurul ini wajar-wajar saja, tapi Fahri menganggap Nurul telah dibutakan oleh rasa cintanya sehingga tertutup akal pikirannya. Fahri menganggap cinta Nurul bukan cinta sejati, karena terjadi sebelum aqad nikah. Cintanya Nurul adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan. Maka Fahri pun menolak tawaran Nurul tersebut.

Ternyata selain Nurul, Maria juga diam-diam menyukai Fahri. Maria adalah seorang gadis Kristen Koptik dari Mesir. Maria sering juga menunjukkan kesukaannya secara halus. Seperti halnya Nurul, Maria terlalu malu untuk menyatakan perasaannya di depan Fahri. Fahri sendiri tidak tahu dengan perasaan hati Maria, karena memang dia tidak begitu berminat dengan Maria. Bisa dibayangkan betapa hancurnya hati Maria ketika mengetahui bahwa Fahri hendak menikah dengan Aisha.

Walaupun begitu, di akhir novel Fahri akhirnya menikahi Maria sebagai istri kedua dengan alasan-alasan tertentu (silakan dibaca novelnya sendiri untuk mengetahui alasan-alasan tersebut).  Pada awalnya Fahri menolak karena sudah berjanji tidak berpoligami selama masih hidup dengan Aisha. Tapi Aisha mendesak Fahri untuk menikahi Maria. Tidak dapat disangkal lagi, Aisha tetap cemburu dengan kemesraan Fahri dengan Maria. Tetapi karena keimanannya yang tinggi, Aisha tidak membiarkan perasaan cemburu itu membakar dirinya. Aisha menganggap cemburunya adalah wajar karena cintanya yang kuat kepada Fahri.

Memang membaca novel Ayat-Ayat Cinta ini seperti membaca sebuah buku agama karena banyak pelajaran di dalamnya seperti aqidah, fiqh, hubungan lelaki dan perempuan, hubungan dengan non-Muslim, dan sebagainya. Kelebihan pengarang buku ini adalah, beliau mampu membuat sebuah jalinan cerita yang tidak menggurui. Tidak heran novel ini mencapai “mega best seller” di Indonesia dengan penjualan lebih dari 400.000 copi. Mungkin ada yang pernah mengganggap tokoh Fahri dan Aisha terlalu ideal. Tapi pengarangnya sendiri beranggapan tokoh Fahri masih belum ideal. Orang-orang yang menganggap tokoh ini terlalu ideal dikarenakan novel-novel atau filem-filem yang ada selalu menggambarkan kekacauan rumah tangga, seks bebas, hubungan lelaki perempuan yang tiada batasnya (pacaran atau dating), dan sebagainya. Ini membuat orang-orang menjadi terbiasa hal-hal buruk tersebut.

Leave a comment